Kualitas pendidikan di Jepang memang tak perlu dipertanyakan lagi, jika melihat berhasilnya Jepang untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah kurikulum pendidikan di negara tersebut. Tak hanya di Indonesia yang gemar ganti kurikulum pendidikan, negara maju seperti Jepang pun kerap ganti kurikulum. Perubahan tersebut mau tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi pendidik di Jepang.
Tingkatan
pendidikan di Jepang sama dengan di Indonesia yaitu dengan menggunakan
sistem 6-3-3 (6 tahun SD, 3 tahun SMP, tiga tahun SMA) dan Perguruan
Tinggi. Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama
digolongkan sebagai Compulsory Education dan Sekolah Menengah Atas digolongkan sebagai Educational Board.
Di Jepang
Pendidikan dasar tidak mengenal ujian kenaikan kelas, tetapi siswa yang
telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan
naik ke kelas dua, demikian seterusnya. Ujian akhir juga tidak ada,
karena SD dan SMP masih termasuk kelompok compulsory education, sehingga
siswa yang telah menyelesaikan studinya di tingkat SD dapat langsung
mendaftar ke SMP. Selanjutnya siswa lulusan SMP dapat memilih SMA yang
diminatinya, tetapi kali ini mereka harus mengikuti ujian masuk SMA yang
bersifat standar, artinya soal ujian dibuat oleh Educational Board.
Menurut Ahmad Sentosa dalam artikel berjudul Kurikulum dan Kompetensi Guru di Jepang,
Ia menjelaskan untuk level pendidikan taman kanak-kanak (TK), di Jepang
lebih cenderung merupakan lembaga pengembangan dan pelatihan kebiasaan
sehari-hari. Karena itu pendidikan di level TK bukanlah pengajaran,
tatapi lebih tepat disebut pendidikan.
Sedangkan untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), sifat dan karakteristik kurikulum di Jepang hampir sama dengan kurikulum SD di Indonesia.Hanya
yang membedakan adalah pada mata pelajaran kebiasaan hidup yang umumnya
diajarkan di kelas 1 dan 2. Tujuan utama diajarkan mata pelajaran ini
adalah untuk mengenalkan dan membiasakan anak-anak pada pola hidup
mandiri. Daripada mengajarkan mata pelajaran IPA dan IPS, Jepang lebih
memilih memperkenalkan tata cara kehidupan sehari-hari kepada anak-anak
yang baru lulus dari tingkat TK yang lebih memfokuskan kegiatan bermain
daripada belajar di dalam kelas.
Pembelajaran
utama seperti bahasa Jepang dan berhitung mempunyai porsi yang lebih
dibanding pelajaran lainnya. Sedangkan pelajaran moral diajarkan tidak
secara khusus dalam mata pelajaran tertentu, tetapi diajarkan oleh wali
kelas sejam seminggu atau diintegrasikan melalui pelajaran lain. Dan
pendidikan moral sudah termasuk pada pendidikan agama (Kristen, Budha,
Shinto). Selain murid disibukkan dengan pendidikan akademik, pendidikan
bersifat estetik berupa musik dan menggambar juga diajarkan dalam porsi
besar di kelas 1 dan 2.
Untuk
pendidikan SMP, kurikulum menitik beratkan pada pendidikan bahasa
Jepang, matematika, IPA dan IPS. Sedangkan pendidikan bahasa asing
seperti Inggris dan Jerman tidak diwajibkan dan hanya bersifat pilhan
bagi murid. Pelajaran bahasa Inggris baru dijadikan pelajaran wajib di
level SMP pada kurikulum 2002. Adanya mata pelajaran pilihan seperti
bahasa Jepang, IPS, matematika, IPA, musik, art, pendidikan
jasmani, keterampilan, dan bahasa asing, merupakan pembeda khas antara
kurikulum pendidikan SMP di Jepang dan Indonesia. Selain pendidikan
utama di Jepang juga dilengkapi dengan pendidikan ekstrakurikuler
seperti di Indonesia.
Dibandingkan
kurikulum SD dan SMP, kurikulum SMA di Jepang paling sering berubah.
Pada tingkat ini sudah diadakan sistem penjurusan seperti di Indonesia.
Sifat khas kurikulum SMA adalah kompleksnya pelajaran yang diajarkan.
Contohnya pelajaran bahasa Jepang yang mulai dikelompokkan menjadi
literatur klasik dan modern. Penjurusan dilakukan di kelas 3, jurusan
yang ada meliputi IPA dan budaya/sosial. tetapi seiring berjalannya
waktu penjurusan mengalami perkembangan karena banyaknya lulusan SMA
yang memilih akademi yang terkait dengan teknik, pertanian, perikanan,
kesejahteraan masyarakat, dan lain lain.
Bukan hanya di Indonesia saja banyak pro dan kontra tentang kurikulum pendidikan, di jepang pun kurikulum dilakukan secara top down, bukan bottom up. Karenanya
banyak yang tidak dapat diterapkan di sekolah secara optimal. Dan pada
akhirnya mendapat protes keras dari para guru. Di Jepang memperlakukan
kegiatan belajar di luar secara berkala, mereka mengunjungi
tempat-tempat bersejarah dan lahan pertanian atau perkebunan untuk
belajar memetik teh, jeruk dan menggali umbi-umbian, bahkan sampai
belajar menanam padi di sawah. Di lain waktu, siswa secara berkelompok
diajarkan cara menumpang kereta (densha) untuk melatih
kemandirian, selain itu diselingi kegiatan wawancara dengan berbagai
narasumber kemudian menjadi bahan untuk presentasi di depan kelas.
Sepertinya
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak hanya
bergantung pada sistem pendidikan itu sendiri, tapi setiap sistem dan
orang di dalamnya seperti guru dan para pelajar pun harus ikut mendukung
untuk mencapai visi dan misi yang sama. Jadi, Jepang dalam menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas pun tidak semata-mata dengan hasil
instan tapi dengan proses yang hampir sama dengan negara maju lain pada
umumnya. Karena seperti yang dikatakan sebelumya proses kurikulum di
Jepang pun tidak lepas dari kata bongkar pasang, tapi dengan loyalitas
para pengajar dan tingkat kedisiplinan pelajar akhirnya dapat
menciptakan banyak SDM berkualitas.
Ciri-ciri pendidikan Jepang- Perhatian pada pendidikan datang dari bermacam-macam pihak
- Sekolah Jepang tidak Mahal
- Di Jepang Tidak Ada Diskriminasi Terhadap Sekolah
- Kurikulum sekolah Jepang sangat berat
- Sekolah sebagai unit pendidikan
- Guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan
- Guru jepang penuh dedikasi
- Guru jepang merasa wajib memberi pendidikan “orang seutuhnya”
- Guru Jepang bersikap adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar